PENANTIANKU BERAKHIR DI BUMI SILAMPARI
Oleh : Siti Fatimah*
Langit
bersinar cerah, matahari mengintip malu dari balik awan, burug pipit
menari-nari riang diangkasa dan sesekali berkicau merdu seakan sedang menghibur
bumi silampari yang baru saja terbangun dari gelapnya malam. Pedagang sayuran
yang tertata rapi di depan stasion menambah keramaian kota ini, para supir
angkutan, tukang ojek maupun tukang bejak kesana kemari mencari penumpang yang
baru saja turun dari kereta api, ku hirup udara pagi ini. Keindahan alam ini
dapat dirasakan oleh semua makhluk hidup, begitu juga dengan diriku, saat aku
menatap kembali kota kelahiranku, kota dimana aku menghabiskan masa kecilku,
aku sangat bahagia saat pertama kali turun dari kereta api dan kembali menapakkan
kaki diatas kota lubuklinggau yang sering disebut bumi silampari setelah empat
tahun lamanya aku berada di ibu kota sumatera-selatan demi menuntut ilmu. Meski
jarak antara lubuklinggau dan Palembang tidak terlalu jauh yang hanya
membutuhkan 12 jam dengan menggunakan kereta api, tapi selama ini aku belum
pernah pulang, karena sejak awal aku berangkat kekota yang terkenal dengan empek-empek
dan masuk ke Universitas PGRI, aku telah memutuskan untuk tidak akan kembali sebelum aku mendapatkan
gelar serjana dan memiliki pekerjaan, dan hari ini terpaksa aku pulang
kelinggau karena permintaan ibu.
“Pulanglah nak…., ada lamaran yang datang untukmu.
Jadi perempuan jangan terlalu lama menyendiri dan jangan banyak pilah-pilih,
yang penting laki-laki itu baik dan mencintaimu, itu saja sudah lebih dari
cukup”. Masih terngiang kata-kata ibu ditelinggaku saat
menelponku seminggu yang lalu memintaku untuk pulang agar bisa melihat lelaki
yang meminangku. Ah ibu, bukannya aku terlalu memilih-milih, hanya saja saat
ini aku sedang menunggu, menunggu seseorang yang telah menghuni hatiku sejak
kecil. Meski ia tak pernah tahu akan isi hatiku, namun aku akan terus menunggu
sampai ia sudah ada yang memiliki.
Setelah mendapat
kabar dari ibu perihal lamaran yang
datang datang, kugempur
dengan sebaik-baik ibadah.
Tiada malam
tanpa qiyamul lail, tiada pagi terlewat Duha, tilawah lebih deras, do’a semakin
thuma’ninah, memperbanyak sedekah, dan puasa sunnah yang akan semakin
menjarakkan diri dari kehendak-kehendak keduniaan. Setiap ibadah diniatkan
untuk menggapai kemantapan
hati. Shalat istikharah pun dilakukan,
memohon petunjuk dari Allah antara 2 pilihan yang aku hadapi. Haruskah aku menerima
pinangan tersebut atau menolaknya dan menunggu seseorang yang telah lama ku
tunggu. Aku lebih mengharapkan bahwa ia lah
laki-laki yang akan dipilih Allah untuk ku. Tiada henti kusebut namanya dalam
setiap do’aku, berharap agar Allah memilih dia untuk menjadi teman jihadku.
Aku menggunakan jasa tukang becak untuk
mengantarku sampai rumah, dikota ini tidak ada yang namanya taksi yang ada
hanyalah angkutan kota karena kota lubuklinggau hanyalah kota kecil, kota yang
belum banyak dikenal oleh orang-orang namun bagiku kota inilah kota yang paling
indah. Kota ini tak banyak berubah masih seperti empat tahun yang lalu saat aku
pergi meninggalkan kota ini, kota kecil ini banyak menyimpan kenangan indah
masa kecilku bersama Imam, Teman sepermainanku masa kecil dan menjadi penghuni
pertama hatiku saat duduk dikelas 2 SMP. Aku dan Imam selalu bersama, main
bersama, pergi kesekolah bersama, Imam adalah sosok lelaki yang baik, homuris,
penyayang, rendah hati dan selalu menjagaku dari gangguan anak-anak yang nakal.
Itulah yang membuat aku jatuh hati padanya, jika aku berada didekatnya aku
merasa tenang dan tidak ada yang berani mengganguku karena imam selalu
menjagaku.
Aku tak pernah tahu apakah perasaanku
pada iman hanya sebatas rasa kagum atau hanya sekedar cinta monyet. Namun satu
yang pasti, dari saat aku menyukai Imam sampai detik ini perasaan itu tak
pernah berubah, perasaan itu tetap sama. Aku berharap imam lah laki-laki yang akan
dipilih oleh Allah untuk mendampingiku, yang akan menjadi partner
jihadku,
dan menjadi ayah bagi anak-anakku. Aku selalu menunggunya meski aku tak tahu
apakah penantian panjangku akan terwujud.
Setelah
lulus dari SMA aku dan Imam berpisah untuk melanjutkan keperguruan tinggi. Imam
melanjudkan studinya kebandung sedangkan aku melanjutkan studi ke salah satu
perguruan tinggi yang ada di Palembang. Meski
telah berpisah jauh kami tetap menjaga komunikasi baik melalui handphone
ataupun jejaring sosial, seperti Facebook. Saling bercerita tentang pelajaran
kampus, pekerjaan, kehidupan sehari-hari dan bertukar pikiran.
***
Ba’da asyar aku sempatkan untuk
keliling di komplek perumahanku, berjalan menyusuri gang-gang kecil, menepaki
jalan setapak yang lebarnya kira-kira 1,5 meter. Lapangan bola itu masih ada,
tempat aku bermain bersama Imam, berlari kesana-kemari mengejar bola, meski aku
seorang wanita tapi aku sangat jago bermain bola kaki. Setelah kelelahan
bermain aku dan Imam akan duduk bersama dibawah pohon kelapa yang ada diujung
sana. Ah… teringat kembali sosok teman kecilku yang berhasil menghuni hatiku,
namun kini penantianku itu berakhir sudah karena orang tuaku terlanjur menyukai
laki-laki yang melamarku dan malam nanti ia bersama keluarganya akan berkunjung
kerumah kami untuk meminta jawabanku atas lamaran itu.
“Ia laki-laki yang
sholeh, baik, berpendidikan dan dari keluarga yang baik-baik, apalagi yang
kurang darinya Rara?, terimalah nak lamaran itu, kau sudah dewasa, tidak baik
kalau kau terlalu lama sendiri takutnya nanti akan ada fitnah”
kata ayah saat tahu bahwa aku tidak suka dengan lamaran itu namun tidak ada alasan
bagiku untuk menolak lamaran itu, tidak mungkin kalau aku mengatakan pada ayah bahwa
aku menyukai laki-laki lain. Ayah sudah semakin tua, sebagai putrinya tunggalnya
aku tak ingin melukai hatinya.
“Rara…?”,
Suara seseorang yang membuyarkan semua lamunanku, menghapus kenangan masa
kecilku yang sekilas hadir dalam ingatanku, suara itu tak asing lagi bagiku.
Aku terpaku melihat laki-laki yang berdiri didepanku saat ini. Penampilannya
sangat berwibawa, rambutnya tersisir rapi dan memakai baju kemejah putih.
“Imam?”
aku terkejut melihat sosoknya kembali hadir dihadapanku, sejuta rasa berkecamuk
dalam hatiku. Ada rasa rindu yang selama ini berkecamuk dihati, ada rasa kecewa
karena sampai saat ini Imam hanya sebatas sahabat, ada rasa penyesalan karena
mengapa aku harus jatuh hati padanya.
Imam
melihatku seperti orang yang kebinggungan, ia melihatku dari ujung kaki samapi
ujung jilbab biru yang ku kenakan. Kemudian ia tersenyum padaku. Senyuman itu
sama manis dan tulusnya seperti dulu, tidak ada yang berubah darinya. Ia tetap
sahabat kecilku dulu, sahabat yang membuat aku merasa tenang berada
disampingnya.
“Apa
kabar mu Ra?” Suaranya terdengar begitu tertekan, meskipun aku tahu sebenarnya
Imam ingin mencairkan suasana.
“Alhamdulillah
sehat, kau sendiri?, kapan kau kembali ke sini Mam?”, tanyaku sekedar basa-basi
“Aku
juga sehat, sudah dua minggu yang lalu, kau kapan pulang?, pulang kesini kok tidak bilang padaku?”
“Tadi
pagi aku sampai, aku tidak tahu kalau kau ada di linggau”, aku sedikit
tersenyum, aku berusaha untuk menutupi perasaanku padanya karena tidak ada harapan
lagi bagiku untuk mengharapkannya lagi.
“Kau
saja yang terlalu sibuk, hingga lupa menghubungiku. O ya ada urusan apa kau
pulang ke linggau?” tanyanya ragu seakan menyimpan sesuatu dari ku
“Hanya
kangen sama ayah dan ibu, sudah lama aku tidak pulang ke linggau. Kau sendiri?”
“Huhh…”
Imam menghembuskan nafas lalu memejamkan matanya.
“Kau
ingat Ra…,bukankah dulu pernah ku katakana padamu bahwa aku akan pulang saat
aku telah menemukan bidadariku. Bidadari yang akan menemani jihadku,
mendampingiku dan menjadi ibu dari anak-anakku dan sekarang aku telah
menemukannya, ra.”
Degg! Satu pukulan
keras kurasakan tepat mengenai ulu hatiku. Aku tidak salah dengarkan?, seorang
bidadari telah ia temukan? Ya Allah… ini kah akhir dari penantian cintaku?,
inikah kehendak-Mu?, Aku
rasakan sekujur tubuhku lemas, aku berusaha untuk bahagia mendengar kebahagian
teman kecilku. Inilah akhir dari penantianku, Imam telah menemukan sosok wanita
yang akan mendampinginya dan aku?, ada seorang laki-laki yang saat ini menanti
jawabanku atas lamarannya.
“Siapa
wanita itu, Mam?”, tanyaku penuh dengan keraguan
“Aku
yakin kau mengenalnya Ra…,” jawab Imam
Apa?, Aku mengenal
wanita yang membuat Imam jatuh hati?, siapa wanita itu?, mengapa bukan aku
wanita itu?. ada rasa cemburu hadir dalam hati ini.
Kupejamkan mataku, kurasa sesak didada.
“Aku telah menemukan wanita yang akan
menemaniku Ra, tapi aku takut ia tidak akan menerimaku menjadi suaminya” suaranya
cemas dan pelan tapi terdengar jelas, demi menyenangkan hatinya kukatakan
padanya bahwa wanita itu akan menerimanya. Kurasakan semua hatiku remuk, hancur
berkeping-keping. Ah inikah Hasil dari istikharah yang aku lakukan,
inikah jawaban dari Allah agar aku menerima lamaran yang datang padaku, karena
kini Imam telah memilih wanita lain, bukankan penantianku berakhir jika imam
telah ada yang memilikinya.
***
“Ya Allah… aku mengharapkan bahwa
dia lah yang akan Kau pilih untuk, tapi jika ini keputusan-Mu maka aku ridha
atas keputusan-Mu, karena setiap keputusan yang Kau beri maka itu lah yang
terbaik untuk hamba-Mu…”, kuakhiri shalat isya dengan do’a, ini kah keputusan
yang akan ku ambil?, Inikah keputusan yang Allah berikan kepadaku?
Terdengar begitu banyak suara
diruang tamu, mungkin laki-laki beserta keluarga yang melamarku sudah datang.
Hatiku semakin cemas, takut, bimbang semua perasaan bercampur jadi satu,
pertanyaan-pertanyaan hadir dari hati ini, apakah ini pilihanku?, apakah aku
mampu menerimanya dengan setulus hati?, dapatkah aku melupakan ia yang telah
lama mengisih hatiku?,
“Rara”, suara ibu yang memanggilku
“iya bu”
“Keluarlah nak, semua orang
menunggumu, menunggu jawabanmu”
“Ibu…” suaraku pelan, ibu tersenyum
padaku
“ Jangan ragu nak, meski ayah dan
ibu berharap kau menerimanya, tapi ayah dan ibu tidak bisa memasakmu, semua
kembali kepada keputusanmu, apapun jawabanmu nanti ayah dan ibu berusaha untuk
menerimanya” Ah, ibu sungguh
bijaksana. Beliau tak pernah memaksaku, semua kembali pada keputusanku.
Aku berjalan keruang tamu dengan
didampingi ibu, aku selalu menundukan kepala, takut untuk melihat orang-orang
yang duduk diruangan ini. Aku tidak mampu memandang mereka satu persatu,
apalagi lelaki yang memilihku untuk menemani hidupnya. Aku duduk disamping
ayah, ayah memegang tanganku.
“Apa kau yakin nak memilih putriku
untuk menjadi isterimu?”, Tanya Ayah meminta keyakinan.
“Aku akan berbicara dari hatiku yang
paling dalam. Sebelum aku melamar Rara untuk menjadi isteriku, aku telah
melakukan shalat istikhara terlebih dahulu. Tiga kali aku melakukan isthikrah
tiga kali pula Rara hadir dalam mimpiku, tersenyum padaku dan memanggil namaku.
Aku yakin bahwa Rara adalah wanita yang dipilih oleh Allah untukku, jadi dengan
mengucap Bismillah aku siap hidup bersama Rara. Sekarang tanyalah pada Rara,
apakah ia siap memiliki seorang suami seperti aku?”
Jantungku berdetak keras, suara
lelaki itu?, aku kenal dengan suara itu, bukankah itu suara..?,
“Baiklah, biar Rara sendiri yang
menjawabnya, berilah jawabanmu nak. Semua keputusan ada ditangganmu” ujar ayah.
Ku angkat kepalaku, memandang
orang-orang yang ada diruangan ini, kulihat
lelaki yang duduk didepanku. Aku terkejut…
Subhanallah..!
Benar dugaanku, lelaki itu adalah
Imam, lelaki yang melamarku adalah Imam. Inikah jawaban Allah untukku?, inikah
hasil dari penantianku selama ini?, Allah mengabulkan semua do’aku, akhirnya
penantian panjangku berakhir, berakhir dibumi silampari. Aku diam sesaat, tidak
ada kata lain yang mampu kucapkan selain kata syukur.
“Jika Imam sudah mantap dengan keputusannya,
maka bismillah aku siap menjadi isterimu” aku menjawab dengan pasti
“Alhamdulillah..” semua orang yang
ada mengucapkan rasa syukur.
”Dan Yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha
Bijaksana” (AlAnfaal:63)
Fabiayyi alaa’i robbikumaa tukadzdziban. Maka nikmat Tuhan mana
yang kamu dustai? (Ar-rahman)
*Penulis
adalah alumni Al-Azhaar angkatan 2009
“AL-FARIEZONA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar