Kamis, 05 Desember 2013

CERPEN



PENANTIANKU  BERAKHIR DI BUMI SILAMPARI
Oleh : Siti Fatimah*

 Langit bersinar cerah, matahari mengintip malu dari balik awan, burug pipit menari-nari riang diangkasa dan sesekali berkicau merdu seakan sedang menghibur bumi silampari yang baru saja terbangun dari gelapnya malam. Pedagang sayuran yang tertata rapi di depan stasion menambah keramaian kota ini, para supir angkutan, tukang ojek maupun tukang bejak kesana kemari mencari penumpang yang baru saja turun dari kereta api, ku hirup udara pagi ini. Keindahan alam ini dapat dirasakan oleh semua makhluk hidup, begitu juga dengan diriku, saat aku menatap kembali kota kelahiranku, kota dimana aku menghabiskan masa kecilku, aku sangat bahagia saat pertama kali turun dari kereta api dan kembali menapakkan kaki diatas kota lubuklinggau yang sering disebut bumi silampari setelah empat tahun lamanya aku berada di ibu kota sumatera-selatan demi menuntut ilmu. Meski jarak antara lubuklinggau dan Palembang tidak terlalu jauh yang hanya membutuhkan 12 jam dengan menggunakan kereta api, tapi selama ini aku belum pernah pulang, karena sejak awal aku berangkat kekota yang terkenal dengan empek-empek dan masuk ke Universitas PGRI, aku telah memutuskan untuk  tidak akan kembali sebelum aku mendapatkan gelar serjana dan memiliki pekerjaan, dan hari ini terpaksa aku pulang kelinggau karena permintaan ibu.
“Pulanglah nak…., ada lamaran yang datang untukmu. Jadi perempuan jangan terlalu lama menyendiri dan jangan banyak pilah-pilih, yang penting laki-laki itu baik dan mencintaimu, itu saja sudah lebih dari cukup”. Masih terngiang kata-kata ibu ditelinggaku saat menelponku seminggu yang lalu memintaku untuk pulang agar bisa melihat lelaki yang meminangku. Ah ibu, bukannya aku terlalu memilih-milih, hanya saja saat ini aku sedang menunggu, menunggu seseorang yang telah menghuni hatiku sejak kecil. Meski ia tak pernah tahu akan isi hatiku, namun aku akan terus menunggu sampai ia sudah ada yang memiliki.
Setelah mendapat kabar dari ibu perihal lamaran yang datang datang, kugempur dengan sebaik-baik ibadah. Tiada malam tanpa qiyamul lail, tiada pagi terlewat Duha, tilawah lebih deras, do’a semakin thuma’ninah, memperbanyak sedekah, dan puasa sunnah yang akan semakin menjarakkan diri dari kehendak-kehendak keduniaan. Setiap ibadah diniatkan untuk menggapai kemantapan hati. Shalat istikharah pun dilakukan, memohon petunjuk dari Allah antara 2 pilihan yang aku hadapi. Haruskah aku menerima pinangan tersebut atau menolaknya dan menunggu seseorang yang telah lama ku tunggu. Aku lebih mengharapkan bahwa ia lah laki-laki yang akan dipilih Allah untuk ku. Tiada henti kusebut namanya dalam setiap do’aku, berharap agar Allah memilih dia untuk menjadi teman jihadku.
Aku menggunakan jasa tukang becak untuk mengantarku sampai rumah, dikota ini tidak ada yang namanya taksi yang ada hanyalah angkutan kota karena kota lubuklinggau hanyalah kota kecil, kota yang belum banyak dikenal oleh orang-orang namun bagiku kota inilah kota yang paling indah. Kota ini tak banyak berubah masih seperti empat tahun yang lalu saat aku pergi meninggalkan kota ini, kota kecil ini banyak menyimpan kenangan indah masa kecilku bersama Imam, Teman sepermainanku masa kecil dan menjadi penghuni pertama hatiku saat duduk dikelas 2 SMP. Aku dan Imam selalu bersama, main bersama, pergi kesekolah bersama, Imam adalah sosok lelaki yang baik, homuris, penyayang, rendah hati dan selalu menjagaku dari gangguan anak-anak yang nakal. Itulah yang membuat aku jatuh hati padanya, jika aku berada didekatnya aku merasa tenang dan tidak ada yang berani mengganguku karena imam selalu menjagaku.
Aku tak pernah tahu apakah perasaanku pada iman hanya sebatas rasa kagum atau hanya sekedar cinta monyet. Namun satu yang pasti, dari saat aku menyukai Imam sampai detik ini perasaan itu tak pernah berubah, perasaan itu tetap sama. Aku berharap imam lah laki-laki yang akan dipilih oleh Allah untuk mendampingiku, yang akan menjadi partner jihadku, dan menjadi ayah bagi anak-anakku. Aku selalu menunggunya meski aku tak tahu apakah penantian panjangku akan terwujud.
Setelah lulus dari SMA aku dan Imam berpisah untuk melanjutkan keperguruan tinggi. Imam melanjudkan studinya kebandung sedangkan aku melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi yang ada di Palembang.  Meski telah berpisah jauh kami tetap menjaga komunikasi baik melalui handphone ataupun jejaring sosial, seperti Facebook. Saling bercerita tentang pelajaran kampus, pekerjaan, kehidupan sehari-hari dan bertukar pikiran.
***
            Ba’da asyar aku sempatkan untuk keliling di komplek perumahanku, berjalan menyusuri gang-gang kecil, menepaki jalan setapak yang lebarnya kira-kira 1,5 meter. Lapangan bola itu masih ada, tempat aku bermain bersama Imam, berlari kesana-kemari mengejar bola, meski aku seorang wanita tapi aku sangat jago bermain bola kaki. Setelah kelelahan bermain aku dan Imam akan duduk bersama dibawah pohon kelapa yang ada diujung sana. Ah… teringat kembali sosok teman kecilku yang berhasil menghuni hatiku, namun kini penantianku itu berakhir sudah karena orang tuaku terlanjur menyukai laki-laki yang melamarku dan malam nanti ia bersama keluarganya akan berkunjung kerumah kami untuk meminta jawabanku atas lamaran itu.
“Ia laki-laki yang sholeh, baik, berpendidikan dan dari keluarga yang baik-baik, apalagi yang kurang darinya Rara?, terimalah nak lamaran itu, kau sudah dewasa, tidak baik kalau kau terlalu lama sendiri takutnya nanti akan ada fitnah” kata ayah saat tahu bahwa aku tidak suka dengan lamaran itu namun tidak ada alasan bagiku untuk menolak lamaran itu, tidak mungkin kalau aku mengatakan pada ayah bahwa aku menyukai laki-laki lain. Ayah sudah semakin tua, sebagai putrinya tunggalnya aku tak ingin melukai hatinya.
“Rara…?”, Suara seseorang yang membuyarkan semua lamunanku, menghapus kenangan masa kecilku yang sekilas hadir dalam ingatanku, suara itu tak asing lagi bagiku. Aku terpaku melihat laki-laki yang berdiri didepanku saat ini. Penampilannya sangat berwibawa, rambutnya tersisir rapi dan memakai baju kemejah putih.
“Imam?” aku terkejut melihat sosoknya kembali hadir dihadapanku, sejuta rasa berkecamuk dalam hatiku. Ada rasa rindu yang selama ini berkecamuk dihati, ada rasa kecewa karena sampai saat ini Imam hanya sebatas sahabat, ada rasa penyesalan karena mengapa aku harus jatuh hati padanya.
Imam melihatku seperti orang yang kebinggungan, ia melihatku dari ujung kaki samapi ujung jilbab biru yang ku kenakan. Kemudian ia tersenyum padaku. Senyuman itu sama manis dan tulusnya seperti dulu, tidak ada yang berubah darinya. Ia tetap sahabat kecilku dulu, sahabat yang membuat aku merasa tenang berada disampingnya.
“Apa kabar mu Ra?” Suaranya terdengar begitu tertekan, meskipun aku tahu sebenarnya Imam ingin mencairkan suasana.
“Alhamdulillah sehat, kau sendiri?, kapan kau kembali ke sini Mam?”, tanyaku sekedar basa-basi
“Aku juga sehat, sudah dua minggu yang lalu, kau kapan pulang?, pulang kesini kok tidak bilang padaku?”
“Tadi pagi aku sampai, aku tidak tahu kalau kau ada di linggau”, aku sedikit tersenyum, aku berusaha untuk menutupi perasaanku padanya karena tidak ada harapan lagi bagiku untuk mengharapkannya lagi.
“Kau saja yang terlalu sibuk, hingga lupa menghubungiku. O ya ada urusan apa kau pulang ke linggau?” tanyanya ragu seakan menyimpan sesuatu dari ku
“Hanya kangen sama ayah dan ibu, sudah lama aku tidak pulang ke linggau. Kau sendiri?”
“Huhh…” Imam menghembuskan nafas lalu memejamkan matanya.
“Kau ingat Ra…,bukankah dulu pernah ku katakana padamu bahwa aku akan pulang saat aku telah menemukan bidadariku. Bidadari yang akan menemani jihadku, mendampingiku dan menjadi ibu dari anak-anakku dan sekarang aku telah menemukannya, ra.”
Degg! Satu pukulan keras kurasakan tepat mengenai ulu hatiku. Aku tidak salah dengarkan?, seorang bidadari telah ia temukan? Ya Allah… ini kah akhir dari penantian cintaku?, inikah kehendak-Mu?,  Aku rasakan sekujur tubuhku lemas, aku berusaha untuk bahagia mendengar kebahagian teman kecilku. Inilah akhir dari penantianku, Imam telah menemukan sosok wanita yang akan mendampinginya dan aku?, ada seorang laki-laki yang saat ini menanti jawabanku atas lamarannya.
“Siapa wanita itu, Mam?”, tanyaku penuh dengan keraguan
“Aku yakin kau mengenalnya Ra…,”  jawab Imam
Apa?, Aku mengenal wanita yang membuat Imam jatuh hati?, siapa wanita itu?, mengapa bukan aku wanita itu?. ada rasa cemburu hadir dalam hati ini. Kupejamkan mataku, kurasa sesak didada.
 “Aku telah menemukan wanita yang akan menemaniku Ra, tapi aku takut ia tidak akan menerimaku menjadi suaminya” suaranya cemas dan pelan tapi terdengar jelas, demi menyenangkan hatinya kukatakan padanya bahwa wanita itu akan menerimanya. Kurasakan semua hatiku remuk, hancur berkeping-keping. Ah inikah Hasil dari istikharah yang aku lakukan, inikah jawaban dari Allah agar aku menerima lamaran yang datang padaku, karena kini Imam telah memilih wanita lain, bukankan penantianku berakhir jika imam telah ada yang memilikinya.
***
            “Ya Allah… aku mengharapkan bahwa dia lah yang akan Kau pilih untuk, tapi jika ini keputusan-Mu maka aku ridha atas keputusan-Mu, karena setiap keputusan yang Kau beri maka itu lah yang terbaik untuk hamba-Mu…”, kuakhiri shalat isya dengan do’a, ini kah keputusan yang akan ku ambil?, Inikah keputusan yang Allah berikan kepadaku?
            Terdengar begitu banyak suara diruang tamu, mungkin laki-laki beserta keluarga yang melamarku sudah datang. Hatiku semakin cemas, takut, bimbang semua perasaan bercampur jadi satu, pertanyaan-pertanyaan hadir dari hati ini, apakah ini pilihanku?, apakah aku mampu menerimanya dengan setulus hati?, dapatkah aku melupakan ia yang telah lama mengisih hatiku?,
            “Rara”, suara ibu yang memanggilku
            “iya bu”
            “Keluarlah nak, semua orang menunggumu, menunggu jawabanmu”
            “Ibu…” suaraku pelan, ibu tersenyum padaku
            “ Jangan ragu nak, meski ayah dan ibu berharap kau menerimanya, tapi ayah dan ibu tidak bisa memasakmu, semua kembali kepada keputusanmu, apapun jawabanmu nanti ayah dan ibu berusaha untuk menerimanya” Ah, ibu sungguh bijaksana. Beliau tak pernah memaksaku, semua kembali pada keputusanku.
            Aku berjalan keruang tamu dengan didampingi ibu, aku selalu menundukan kepala, takut untuk melihat orang-orang yang duduk diruangan ini. Aku tidak mampu memandang mereka satu persatu, apalagi lelaki yang memilihku untuk menemani hidupnya. Aku duduk disamping ayah, ayah memegang tanganku.
            “Apa kau yakin nak memilih putriku untuk menjadi isterimu?”, Tanya Ayah meminta keyakinan.
            “Aku akan berbicara dari hatiku yang paling dalam. Sebelum aku melamar Rara untuk menjadi isteriku, aku telah melakukan shalat istikhara terlebih dahulu. Tiga kali aku melakukan isthikrah tiga kali pula Rara hadir dalam mimpiku, tersenyum padaku dan memanggil namaku. Aku yakin bahwa Rara adalah wanita yang dipilih oleh Allah untukku, jadi dengan mengucap Bismillah aku siap hidup bersama Rara. Sekarang tanyalah pada Rara, apakah ia siap memiliki seorang suami seperti aku?”
            Jantungku berdetak keras, suara lelaki itu?, aku kenal dengan suara itu, bukankah itu suara..?,
            “Baiklah, biar Rara sendiri yang menjawabnya, berilah jawabanmu nak. Semua keputusan ada ditangganmu” ujar ayah.
            Ku angkat kepalaku, memandang orang-orang yang ada diruangan ini, kulihat  lelaki yang duduk didepanku. Aku terkejut…
            Subhanallah..!
            Benar dugaanku, lelaki itu adalah Imam, lelaki yang melamarku adalah Imam. Inikah jawaban Allah untukku?, inikah hasil dari penantianku selama ini?, Allah mengabulkan semua do’aku, akhirnya penantian panjangku berakhir, berakhir dibumi silampari. Aku diam sesaat, tidak ada kata lain yang mampu kucapkan selain kata syukur.
            “Jika Imam sudah mantap dengan keputusannya, maka bismillah aku siap menjadi isterimu” aku menjawab dengan pasti
            “Alhamdulillah..” semua orang yang ada mengucapkan rasa syukur.
           
Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana” (AlAnfaal:63)
Fabiayyi alaa’i robbikumaa tukadzdziban. Maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustai? (Ar-rahman)




*Penulis adalah alumni Al-Azhaar angkatan 2009
“AL-FARIEZONA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar